SENJA KALA MEDIA CETAK

Sejak pertama kali mesin cetak ditemukan oleh Johannes Gutenberg pada 1455. Media cetak terus mengalami dialektika hingga hari ini memasuki fase senja kala. Hmm, masa sih?

Ryasramzi
5 min readJan 20, 2020

Siapa di antara kalian yang sampai dengan saat ini masih suka membaca koran, majalah, dan tabloid? Atau jangan-jangan kalian telah beralih ke media massa berbasis digital? Ayo, jawab dengan bubur! Eh, jujur.

Ya sudah, kalau tidak mau menjawab. Toh, jawaban kalian tidak ada pengaruhnya untuk pemilik modal. Ngoahahaha

Pembaca yang budiman.
Sejak revolusi Gutenberg, eskalasi produksi karya cetak dan desiminasi informasi meningkat tajam setelah prototipe mesin cetak 'moveable type' nya Gutenberg menjadi open source. Pada masa Reinassance, para ilmuwan dan pemikir lainnya banyak yang memanfaatkan manifestasi ide Gutenberg ini dengan memproduksi karya sastra, sains, dan agama ke dalam buku. Kemudian, seiring perkembangannya, media cetak mengalami transformasi dan optimalisasi sampai dengan era digital atau kerap disebut era konvergensi media sekarang ini. Wawww~

Di Indonesia, ada koran Sin Po. Sin Po adalah surat kabar yang punya peran penting dalam sejarah pergerakan nasional. Media cetak yang pertama kali muncul pada 1910 ini didirikan orang-orang Tionghoa peranakan dan menyuarakan nasionalisme Indonesia.

Eksistensinya selama 55 tahun (1910-1965) menjadikan Sin Po sebagai salah satu media dengan masa terbit paling panjang di Indonesia. Nah, biarpun orang Tionghoa sering mendapatkan diskriminasi oleh kita yang mengaku ‘pribumi’, setidaknya mereka-mereka juga lah yang berkontribusi atas kemerdekaan Indonesia sehingga kita bisa rebahan sepanjang hari.

Jadi, media cetak merupakan media massa tertua di Dunia dan memiliki pengaruh yang signifikan dalam proses desiminasi informasi. Entah, untuk perlawanan, penyebaran keilmuan atau dogma-dogma agama.

Nah, terus nasib media cetak hari ini gimana?

Kalau misalkan kita buat perbandingan media cetak ‘koran’ versus media digital ‘televisi’, itu ibarat Chelsea di bawah asuhan Carlo Ancelotti melawan Manchester United di bawah asuhan Sir Alex Ferguson. Masih ada probabilitas untuk memenangi pertandingan. Tetapi, kalau media cetak dihadapkan dengan televisi dan internet, itu ibarat Chelsea di bawah asuhan Lampard melawan Manchester United di bawah asuhan Ole Gunnar dan Manchester City di bawah asuhan Pep Guardiola. 1 vs 2. Oramashoook~

Sederhananya, televisi kita hanya bisa menjangkau wilayah tertentu, misalnya televisi di Indonesia tidak bisa ditonton di negara lain. Sementara dengan internet, arus informasi itu melewati batas-batas tradisional yang selama ini ada. Ya, gimana nggak babak belur Celsi. Eh, media cetak. Lawan Emyu yang lagi melempem aja kalah kok Wqwqwqwq

Nah, jelaskan. Hadirnya internet membuat akses untuk mendapatkan informasi menjadi lebih gampang, dan lebih cepat didapat dibandingkan media lain seperti televisi, radio, dan media cetak.

Di tengah terpaan media elektronik, digital, dan internet. Banyak pemilik perusahaan media cetak hijrah ke platform online atau menyiasati agar perusahaannya bisa tetap berdiri dan tidak collapse. Misalnya dengan tidak menerbitkan edisi tertentu atau memangkas halaman dengan alasan agar bisa menutup ongkos produksi yang tinggi.
Itu yang memang bisa ‘survive’ untuk menyambung hidup dan berniat melanjutkan eksistensi nama media dan dunia jurnalistik. Bahkan, dalam beberapa kasus, beberapa perusahaan media cetak memilih untuk ‘gulung tikar’ karena tergusur oleh keberadaan media berbasis digital dan internet.
Kejam bukan industri media ini? Yaiyalah, Jon. Namanya juga bisnis.

Pada penghujung tahun 2018, Tabloid Bola--Media cetak yang concern terhadap olahraga--harus ‘gulung tikar’. Perubahan lanskap bisnis yang sekarang lebih mengarah pada digital, turut menjadi penyebab tabloid yang resmi terbit secara mandiri sejak 1 April 1988 ini berhenti edar. Media cetak yang berada di bawah naungan Kompas Gramedia Group ini resmi memberangus edisi cetaknya dan akan mempertahankan edisi online melalui situs bolasport.com

Pada bulan April tahun 2019, tabloid Cek & Ricek mengikuti jejak tabloid Bola. Media cetak yang concern terhadap selebriti ini harus menutup edisi cetaknya dan beralih ke platform online setelah 21 tahun sejak awal penerbitannya.

Tidak mau ketinggalan dengan tren collapse. Pada bulan Oktober tahun 2019, koran bernama Utusan Malaysia pun harus gulung tikar. Media cetak yang berdiri pada 1939 ini bertahun-tahun memiliki masalah finansial dan tercatat 800 karyawan di-PHK. Wawww ngga main-main, Jon.

Bukan saja di Indonesia, penutupan ketiga media cetak di atas--Masih banyak perusahaan media cetak yang collapse tetapi saya sudah capek menulisnya wqwqwq--ini merefleksikan masalah berat yang tengah dihadapi oleh media cetak di seluruh dunia.

Gue cekek lo Koran!

Terus, apakah senja kala media cetak akan terus berputar seperti rotasi bumi ini? huaaahh....
Sebenernya faktor apa aja sih yang mendorong terjadinya collapse dan tren hijrah ini? "Faktor X" -Bondan

Pertama, meningkatnya eskalasi pengguna internet.
Berdasarkan survei Nielsen Consumer Media View yang dilakukan di 11 kota di Indonesia, penetrasi televisi masih memimpin dengan 96% disusul dengan media luar ruang (53%), internet (44%), radio (37%), koran (7%), tabloid dan majalah (3%).

Keberadaan internet sebagai media dengan tingkat penetrasi yang cukup tinggi menjadi indikasi bahwa masyarakat Indonesia semakin gemar mengakses berbagai konten melalui media digital.

Kedua, kualitas redaktur.
Saat ini media cetak ditantang untuk menciptakan tulisan yang mampu dinanti-nantikan oleh pembaca. Media cetak juga harus berani memproklamirkan diri sebagai media dengan kasta tertinggi di jurnalistik. Syaratnya, kualitas penulisan dan penyajian konten di media cetak harus mereprensentasikan diri sebagai pemegang kasta tertinggi di jurnalistik. Ya, kalau terus stuck dengan status quo akan tergerus oleh media massa berbasis digital seperti Detik, Tirto, dan Mojokdotco. Eits, ini bukan promosi.

Ketiga, glorifikasi media cetak abadi dan tidak mau menerima inovasi.
Masih ingat penyebab Nokia collapse? Saat itu, Nokia masih terlalu jumawa dengan kisah sukses masa lalunya dengan tetap bertahan dengan format ponsel yang dimilikinya. Sementara, kompetitornya; Google dan Apple terus berinovasi. Market meresponnya dengan sangat positif. Nokia tidak sadar dan cukup ‘keras kepala’ untuk berubah dan akhirnya kekalahan yang menyakitkan itu terjadi pada tahun 2013, ketika bisnis seluler Nokia diserahkan ke Microsoft.

Keengganan untuk berubah serta keterlambatan Nokia dalam mengantisipasi situasi kompetisi yang sangat dinamis membuat perusahaan tua ini harus mencari business model lain untuk menjalankan roda operasinya.

Dalam kasus ini, seandainya Nokia berkolaborasi dengan Google 'Android' yang secara relatif memiliki kemampuan disruptive yang lebih baik dibandingkan Microsoft, mungkin Nokia masih tetap merajai pasar ponsel dunia hingga hari ini.

Nah, pola-pola di atas juga berlaku untuk media cetak yang tidak mau beralih ke media massa berbasis digital dan online di era konvergensi media. Minimal perusahaan media memberikan segmen khusus atau mengintegrasikan media cetak dengan media online. Memang, media cetak kemungkinan tidak mati. Tetapi, kita tidak akan tahu 5 sampai dengan 15 tahun ke depan. Apalagi, generasi sekarang tidak tumbuh dengan koran, majalah, dan tabloid. Mereka tumbuh dengan gadget.

Kita boleh saja membaca media digital dan online tanpa harus mengkesampingkan media cetak. Kenapa? karena dengan membaca media cetak; koran, majalah, tabloid, dsb. Kita turut andil dalam mendukung nadi kehidupan loper koran, distributor majalah, serta yang paling mulia, kita berkontribusi memajukan roda kapitalisma. Wqwqwq

Sadar tidak? kalian yang membaca tulisan ngga penting ini bertanggung jawab atas fase senja kala media cetak di era konvergensi yang serba digital ini, lho. Dih? Wayuluhhhh kicep...

--

--