Mengenang Kematian Seorang Kawan

Ryasramzi
10 min readDec 25, 2020

--

Sejak hari pemakaman kawan saya pada 7 September 2016 sampai dengan tulisan ini terbit, Aristoteles, Epikuros, Feuerbach, dan Hobbes belum berhasil meyakinkan saya mengenai konsep kematian manusia pada spektrum jiwa dan raga. Kematian kawan saya sampai saat ini masih menetap dalam memori, akan terus abadi, dan tidak terikat materi.

Alm. Kevin Yoga Pratama 26–12–1998

Bagi sebagian orang, kematian adalah hal yang menakutkan dan dapat mengobrak-abrik kondisi psikologis manusia. Bagi individu yang mengalami prosesi kematian, kita tidak tahu lebih banyak melainkan janji di lembaran kitab suci serta pegangan kepercayaan, iman, dan taqwa. Bagi yang ditinggal, pasti akan menyisakan goresan di memori. Bagi saya — Pasca kepergian seorang kawan, ini menjadi turning point dalam hidup.

Kepastian dan ketidaktahuan kita kapan kematian itu terjadi membuat kita merasa kecil dan tak berdaya. Ini adalah bentuk kutukan kematian pada taraf eksistensial, yang berada di bawah gagasan bahwa ia sudah menjadi bagian dari diri kita. Mungkin tak ada pukulan yang lebih menyakitkan dalam hidup kecuali kematian, karena menurut saya masih ada banyak kehidupan yang pantas untuk dijalani, dan terlalu menyakitkan untuk direnggut. Hal ini dapat ditelusuri dalam analogi relasi tuan-budak Hegel. Rasa takut terhadap kematian dalam nalar Hegel disebut tuan yang absolut. Budak melayani tuan karena budak begitu takut terhadap tuan yang absolut, kematian. Untuk bertahan hidup, budak harus melakukan apa saja untuk melayani tuannya.

Carl Gustav Jung menyatakan bahwa kehidupan hanya dapat dimaknai melalui kematian. Ya, Jung ada benarnya karena semua yang hidup memiliki libido, dan setiap yang memiliki libido berakhir dalam kematian, sehingga kematian merupakan simbolisasi paling tepat atas kehidupan. Kematian bukan merupakan akhir kehidupan karena kehidupan merupakan suatu hal berkelanjutan di alam. Sebagaimana ketika manusia mengalami kematian, manusia dalam beberapa pekan akan terlebur dalam senyawa organik yang secara alamiah akan kembali dan terserap dalam kehidupan organik lain. Oleh sebab itu, kematian semustinya dipahami bukan sebagai suatu akhir dari kehidupan karena kehidupan pada hakikatnya tidak akan pernah berakhir. Ia akan terus menjadi atau mungkin akan lebih jauh dapat dipahami sebagaimana halnya hukum termodinamika.

Perayaan kematian seseorang tentu berbeda dari segi antropologi. Di Tana Toraja, mereka merayakannya dengan upacara “Rambu Solo”. Orang-orang Meksiko mengenang arwah dengan festival “Dia de Los Muertos”. Tiap keluarga akan menghias rumah mereka dengan membuat altar (ofrendas) yang terdiri dari foto, Aztec Marigold (bunga kematian Meksiko), calacas dan calaveras (kerangka dan tengkorak), gula-gula berbentuk tengkorak, papel picado (semacam ornamen khas Meksiko), lalu makanan, minuman, dan barang-barang kesukaan almarhum semasa hidup. Di Skotlandia dan Irlandia, mereka merayakan “Samhain”. Di Asia, tepatnya di Tiongkok, Taiwan, dan Singapura ada festival “Zhongyuan”. Lalu, di Kamboja juga ada “Pchum Ben”. Di Korea Selatan dan Utara ada “Chuseok” — tradisi ini sejatinya lebih mirip dengan “Thanksgiving”, tapi dirayakan dengan mengunjungi makam para leluhur. Lalu di Nepal ada “Gai Jatra”.

Di antara perayaan kematian atau mengenang kematian seseorang di atas, saya lebih memilih berkontemplasi, berdoa, dan memutar musik dari Payung Teduh — Alhmarhum kawan saya suka sekali Band yang dahulu dinahkodai oleh Mas Is.

Kevin Yoga Pratama atau yang akrab disapa Kepoy (Almarhum) memiliki enigma tersendiri. Semasa hidup, saya dan kawan-kawan se-perkopian tidak asing dengan labelling tersebut sehingga membuat siapapun ingin mengikuti dan menyelami kepribadiannya lebih dalam. Persetan dengan harta dan tahta jika tidak memiliki karakter yang baik dan unik sama saja seperti Ramasses II dari tanah Mesir.

Saya sendiri mengenal almarhum ketika terlibat dalam kegiatan Sahur On The Road (SOTR) yang diadakan oleh serikat atau komunitas bernama Poyz Home Fame (PHF) pada bulan Ramadhan tahun 2015. Berawal dari kegiatan tersebut, intensitas komunikasi saya dengan almarhum dan kawan-kawan di lingkarannya semakin meningkat dan menjadi gerbang awal perjalanan spiritual — saya lebih suka menyebut demikian ketimbang term lain semisal pelarian atau pencarian jati diri. Ya, karena ketika itu saya merasa sedang berada dalam fase terendah dalam hidup. Patah hati, drop out, dan segala problematika yang berimplikasi pada ketidakstabilan kondisi psikologis personal. Almarhum, Nasir Abdullah, Ikbal, Renal, serta kawan-kawan yang lainnya di lingkaran PHF selalu menemani dan mensupport saya di masa-masa yang penuh enigma itu.

Sang pujaan tak juga datang

Angin berhembus bercabang

Rinduku berbuah lara

Uh, lara

U-uh, lara

U-uh-uh, lara

Berbuah lara

Uh, lara

Terdengar alunan musik Payung Teduh menggema kamar almarhum. Saya dan kawan-kawan lainnya mengikuti nyanyian dari Mas Is. Renal tetap menatap layar laptop dan melakukan editting tugas sekolah atau project dari kawan-kawannya. Payung Teduh selalu menjadi playlist pertama almarhum.

Kejenuhan, rasa curiousity, dan semangat muda membawa kami ke dataran tinggi Dieng, tepatnya di Prau pada musim panas 2015 bersama kawan-kawan dari Gontai Company. Berlanjut dari Fun Camp tersebut, kami memutuskan untuk melakukan perjalanan short-trip secara marathon. Papandayan, Sawarna, dan Gunung Kidul. Melalui tulisan ini, saya ingin mengenang kematian kawan saya dengan perjalanan.

Bicara perjalanan adalah bicara tentang hal-hal yang yang lebih dari sekedar berjalan. Air, udara, laut, gunung, pepohonan, binatang, awan, langit, betapa baiknya Tuhan menciptakan itu semua secara cuma-cuma. Debaran di dada saya kian meletup-letup. Melalui perjalanan, saya belajar tentang proses. Tentang kepasrahan.

Kepasrahan yang akhirnya membuat rasa syukur saya bertambah berkali-kali lipat. Rasa syukur yang mengantarkan saya pada pencapaian yang sesungguhnya, sebagaimana apa yang pernah Jazuli Imam katakan dalam Pejalan Anarki. “Jika kau butuh lebih dari sekadar tafsiran dan kutipan pasaran tentang siapa itu Tuhan, teman, dan diri sendiri. Pergilah mendaki gunung atau mengheninglah.”

Perjalanan paling berkesan buat saya, tentu saja ketika mengeksplorasi Gunung Kidul. Pada April 2016 saya dan almarhum melakukan duet untuk mengeksplorasi keindahan alam pesisir selatan — Duet ini yang akhirnya menjadi pengalaman pertama dalam hidup dan meninggalkan memori yang sulit untuk dilupakan dengan almarhum. Sebab hidup hanya senda gurau, kami kemas barang dan pergi menjelajah. Hidup tidak ada yang pasti. Semuanya petualangan.

Perjalanan kami mulai dari Wates — sebuah daerah perbatasan antara Kota Depok dan Tangerang Selatan — menuju Stasiun Pasar Senen. Kami mendapatkan seat dengan kapasitas 5 penumpang dewasa. Saya, almarhum, 2 orang usia paruh baya, dan 1 orang ibu dengan menggendong anaknya yang masih balita. Awalnya, kami merasa canggung ketika berada di seat tersebut karena perbedaan usia dan bahasa serta ini adalah pengalaman kami pertama melakukan perjalanan menggunakan kereta dengan jarak tempuh yang lumayan jauh. Akan tetapi, kami melawan keterbatasan itu semua selama kurang lebih 8 jam. Sesampainya di Lempuyangan, kami dijemput oleh kawan lama, Edo, dengan membawa kerabatnya, Edi — semoga keberkahan hidup melimpahi kedua kawan saya itu dengan segala kebaikannya. Kami menetap di rumah Edo.

Selama perjalanan menuju kediaman Edo, kami memerhatikan kondisi setempat. Ternyata, secara geografi di sini tidak jauh berbeda dengan daerah Sukabumi. Bukit yang curam, akses jalan yang dikelilingi rindang pohon yang lebat dan aneka ragam flora serta yang unik adalah ketika saya kaget melihat taburan bunga (sesajen) memenuhi pinggiran jalan. Saya bergumam dalam hati bahwa perjalanan ini akan menjadi perjalanan yang kaya; antropologi, mitologi, bahasa, dan geografi masuk dalam list pertanyaan yang memenuhi isi kepala selama di sini. Ya, saya berada di tempat di mana saya bisa menjadi sesorang yang berjalan di atas kakinya sendiri. Saya berada di tempat di mana saya bisa menjadi seseorang yang berkeputusan dengan kepalanya sendiri. Saya berada di tempat di mana saya bisa menjadi seorang yang mendapatkan kekuasaan atas tubuhnya sendiri.

Di perjalanan ini, kami menumpang kendaraan Edo dan Edi. Bahkan, sesekali ketika Edi berhalangan ikut karena kala itu dia sedang PKL, Edo meminjamkan kedua Vespanya. Almarhum yang mengendarai karena saya belum bisa mengendarai Vespa 2 Tak. Saya dan almarhum belajar banyak dari Edo, Edi, dan Gunung Kidul. Mitologi; “Pulun Gantung” atau kepala terbang yang kerap menampakan wujudnya ketika pemilihan Kepala Desa. Makam jenazah yang baru dikebumikan yang diberi bakaran asap agar tidak usik oleh harimau — saya dan almarhum melihat sendiri sebuah makam yang diperlakukan seperti ini ketika hendak menuju Sarangan pada malam hari. Ohiya, yang menggelitik dan mengernyitkan dahi adalah kala saya dan almarhum diperkenalkan kawan-kawan Edo. Almarhum sempat gusar “Gue paham nih yang diomongin. Cuma gue gabisa ngomongnya.” Ujarnya. Saya dan Edo tertawa.

Kuliner; “Walang Goreng” atau belalang goreng. Ketika mencicipi pertama kali, almarhum alergi. Kulitnya sensitif sehingga timbul bercak merah di lengannya. Saya termangu ketika Edo dan kerabatnya menyantap belalang goreng dengan lahap. Selesai itu menghisap Padud. Nikmat mana lagi yang kami dustakan.

Geografi; tanah yang berkapur, di kediaman Edo, dia menampung air hujan di sebuah kolam untuk keperluan mandi karena memang daerah Gunung Kidul memiliki tingkat intensitas hujan yang minim dan jarang. Air adalah barang yang langka. Pantai-pantai yang memiliki nama berbeda sepanjang kurang lebih per 100 meter. Tebing lafadz La Illaha Illallah. Gunung Api Purba. Curug Kedung Kandang, sebuah karya Tuhan yang hadir di tengah-tengah persawahan masyarakat. Hal yang menarik dari perjalanan ke Gunung Api Purba dan Kedung Kandang adalah ketika jalan pulang ada operasi razia pengendara bermotor. Edo mencari jalan pintas dengan menerabas area hutan hingga sampai di daerah pemukiman. Terpampang jelas di sebuah gapura bertuliskan “KKN 098 UGM”. Tepat di bawah gapura, Edo bertanya ke warga setempat perihal rute jalan. Saya dan almarhum mendengarkan. Sialnya, warga yang ditanya itu menggunakan bahasa jawa yang berbeda dengan Edo. Edo bergeming, saya dan almarhum menggaruk-garuk kepala dan sesekali tertawa kecil. Ya, memang di sini ada perbedaan bahasa dan logat. Misalnya, untuk pengucapan “Kepriye” ada yang mengganti huruf Y menjadi Z “Keprize”.

Pantai Sarangan, tempat saya, almarhum, Edo, dan Edi berkontemplasi tentang keindahan pesisir selatan.

Pa-ra-ra-ra-ra

Pa-ra-ra-ra-ra

Pa-ra-ra-ra-ra

Pa-ra-ra-ra-ra

Pa-ra-ra-ra-ra

Pa-ra-ra-ra-ra

O-o-o-o-o-o-oh

Aku ingin berjalan bersamamu

Dalam hujan dan malam gelap

Tapi aku tak bisa melihat matamu

Aku ingin berdua denganmu

Di antara daun gugur

Aku ingin berdua denganmu

Tapi aku hanya melihat keresahanmu

Alunan musik dari Payung Teduh dan gemuruh ombak laut lepas selatan, di bawah gemerlap bintang-bintang di langit, kokohnya bukit Sarangan di belakang, menemai malam-malam kami tepat di bibir pantai. Kami mendirikan tenda ukuran 3 orang dewasa. Peduli di atas vespa, pesawat atau kereta, laut terus ikut serta; debur ombaknya, saut burung-burung camar pagi, gulitanya di tengah malam, bunga-bunga api di tepian yang segar sekaligus purba. Pada mulanya adalah amarah. Kemudian, laut menelanjangi kami, mengajak masuk dalam dirinya yang bebas dan rahasia. Kami ditelan laut. Di laut, kami menemukan diri kami yang sepi, ringkih, dan pendusta.

4 tahun berlalu, kematian kawan saya sampai saat ini kehadirannya masih saya rasakan. Hegel pernah berkata “Yang kita cintai sebenarnya tidak berhadap-hadapan dengan kita. Dia menyatu dengan keberadaan kita sendiri; kita hanya melihat kita di dalam dia, tapi sekali lagi dia bukan lagi kita — teka-teki, keajaiban (ein Wunder), yang tidak bisa kita pegang.” Saya sepakat. Jasad almarhum kawan saya memang ditelan bumi, tapi jiwanya tetap abadi. Ia hadir dalam bentuk lain yang bersemayam dalam kontruksi pemikiran saya.

Menurut Thomas Hobbes manusia tidak lebih pada suatu bagian alam bendawi yang mengelilinginya. Oleh karena itu, maka segala sesuatu yang terjadi padanya dapat diterangkan dengan cara yang sama dengan cara menerangkan kejadian-kejadian alamiah, yaitu secara mekanis. Dengan kata lain manusia hidup selama darahnya beredar dan jantungnya bekerja, yang disebabkan pengaruh mekanis dari hawa atmosfir. Hidup manusia adalah gerak anggot-anggota tubuhnya. Aristoteles pun berpikiran serupa bahwa manusia merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Tubuh dan jiwa hanya merupakan dua segi dari manusia yang satu, tubuh adalah materi dan jiwa adalah bentuk. Manusia merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, maka pada saat manusia mati, maka kedua-duanya akan mati. Itu berarti jiwa manusia tidak abadi. Namun aristoteles berpikiran bahwa tidak ada kehidupan setelah mati, jadi kematian adalah akhir dari segala-galanya. Epikuros berpandangan bahwa kematian adalah akhir dari tubuh maupun jiwa. Begitu juga dengan materialisme yang memandang manusia hanyalah materi belaka. Lamettrie, sebagai seorang pelopor materialisme berpandangan bahwa manusia tidak lain daripada binatang, binatang tak berjiwa, material belaka.

Dalam konteks kematian manusia pada spektrum jiwa dan raga, saya masih belum mengafirmasi paradigma dan konsep yang ditawarkan — bukan berarti saya menolak kekayaan intelektual yang telah mereka produksi secara keseluruhan — Saya berpandangan bahwa jiwa dan raga adalah dua subtansi yang berbeda. Saya sepakat, ketika manusia mati, maka jasad atau raganya mati. Akan tetapi, roh atau jiwanya tetap ada. Bahkan, materialisme dialektika serta atomic pun bekerja demikian. Melalui kematian manusia, makhluk hidup lain dapat hadir dan berkembang. Pada kematian manusia, jasad atau raga yang melewati proses dekomposisi turut serta dalam menyumbang bakteri penting pada tanah sebagai sumber utama untuk perkembangan tumbuhan. Meski semua makhluk hidup, khususnya manusia, mengalami kematian sebagai fase yang tidak terelakan, nyatanya sel dan jaringan manusia adalah abadi.

Descartes menyatakan bahwa manusia terdiri dari jiwa dan raga karena jiwa itu bertempat di tubuh manusia, tapi jiwa dan raga tidak bisa menjadi satu. Maka jiwa lebih penting dan kuasa dari raga atau tubuh karena jiwa yang menyebabkan tubuh hidup dan mustahill jiwa itu dapat mati.

Interpretasi saya terhadap Descartes, bahwasanya manusia menjadi dua substansi yang berbeda, yaitu jiwa dan tubuh. Jiwa, yang esensinya adalah kesadaran dan berpikir, keberadaannya tidak bergantung pada ruang dan waktu karena ia merupakan “substansi” yang immaterial atau bukan fisik. Jiwa merupakan sebuah substansi yang kekal dan tidak pernah tampak secara langsung dalam kesadaran kita.

Mulla Shadra menyatakan bahwa kematian adalah dikeluarkannya jiwa dari badan, dipalingkan dari alam indera dan dihadapkan kepada Allah dan kerajaan-Nya secara bertahap. Maka, jiwa tidak mati karena kematian raga dan tidak akan rusak walaupun rusaknya raga.

Sebagai penutup, saya ingin menekankan bahwasanya boleh saja berbeda paradigma dalam memandang kematian dan saya meyakini bahwa kematian kawan saya itu menjadi turning point dalam memandang kehidupan dan kematian. Apa yang saya harapkan dalam hidup bukan sekadar hal-hal objektif dan material seperti immortalitas, tapi bagaimana cara saya dapat memberikan makna atau arti dalam hidup. Hidup abadi tak muluk berarti kebahagiaan yang terus menerus. Ini bukanlah sebuah paradoks, ini adalah satu-satunya kepastian dari hidup bahwa semakin lama hidup, semakin besar pula probabilitas untuk mendapatkan kebahagiaan dan kesedihan. Kematian kawan saya menyadarkan bahwa saya harus berusaha bagaimana mendapatkan kebahagiaan walaupun itu terbatas daripada mendapat hidup yang abadi dengan penderitaan yang abadi. Sementara itu, saya menyadari tolak ukur kebahagiaan manusia itu juga ambigu.

Sebab dunia hanyalah senda gurau. Demikian Tuhanku berfirman. Apalah guna tangis-tangis itu. Bergembiralah saja di hidup yang sebentar ini. Boleh sedih, asalkan dua; dalam sepi dan sendiri. Lain itu, jangan. Kita musti tunjukan pada dunia bahwa kita adalah manusia sekuat karang yang hanya bisa rapuh ketika sujud.

Teruntuk Alm. Kevin Yoga Pratama (Kepoy), Selamat ulang tahun! Semoga tenang di alam sana. See you in the next trip there.

--

--

Responses (2)