Mencintai Takdir Walaupun Begitu Brengsek
Ada kalanya untuk kalah dan tabah karena kamu bukanlah ludah dari lidah yang bersumpah menolak untuk kalah. Kemudian, bangkit lagi dan berteriaklah sekencang-kencangnya “Fatum brutum, amor fati!”.
Setelah bertarung dengan emosi berbulan-bulan — skenario yang sama seakan diajak untuk Dejavu beberapa tahun silam — aku putuskan untuk merawat harapan dan semangat yang hampir punah.
Setidaknya untuk saat ini, harapan dan semangat yang akan menjaga kewarasan dalam menghadapi skenario yang sama. Tidak ada lagi hal-hal yang dilakukan mengalir tanpa rasa seperti hewan ternak yang diangon oleh peternaknya. Seperti tai mengambang dalam arus air sungai. Seperti mayat hidup berjalan di muka bumi.
Barangkali, jika agama memperbolehkan bunuh diri, maka pasti orang-orang frustasi yang harapannya dimusnahkan, yang semangatnya dipatahkan, yang terbentur tanpa terbentuk sudah melakukannya sebelum kalimat ini tersusun. Akan tetapi, tidak lebih baik jika melakukan itu. Azan tetap berkumandang, penindas tetap menindas, hujan tetap turun, ibu yang mengandung akan melahirkan, sepasang kekasih tetap menyayangi, lampu kota tetap gemerlap, bintang tetap bersinar, dan dunia hanya akan berhenti sepersekian menit hanya untuk mendengar kabar duka atas kepergianmu. Setelah itu, segala aktivitas di jagat raya akan normal kembali.
Jika itu caramu untuk dikasihani dan mendapatkan pengakuan, seironis dan sepasrah itukah terhadap takdirmu? Boleh kalah dan tabah, tapi jangan pasrah. Sekarang, buka smartphone atau laptopmu. Ketik Pandai Besi — Menjadi Indonesia pada mesin pencarian aplikasi streaming musikmu. Mari kita nyanyikan bersama-sama
“Ada yang memar, kagum banggaku
Ada yang mekar seperti benalu
Ada yang runtuh, tamah ramahmu
Ada yang tumbuh, iri dengkimu
Lekas
Bangun dari tidur berkepanjangan
Cuci muka biar terlihat segar
Masih ada cara menjadi besar”
Dengarkan sampai habis. Kemudian, lanjutkan ke Iwan Fals — Nyanyian jiwa. Dengar dan resapi. Keraskan saja volumenya agar tidak ada noise hingga hanya alunan musik serta detak jantung aku dan kamu yang terdengar.
“Aku sering ditikam cinta
Pernah dilemparkan badai
Tapi aku tetap berdiri
Nyanyian jiwa haruslah dijaga
Mata hati haruslah diasah
Nyanyian jiwa haruslah dijaga
Mata hati haruslah diasah
Menjeritlah
Menjeritlah selagi bisa
Menangislah
Jika itu dianggap penyelesaian”
Sekarang bagaimana? Apa masih berniat mengakhiri hidupmu? Apa masih menyerah pada takdir?
Memang takdir kita telah tertulis di lauh mahfuz. Bukan berarti kamu harus diam dan pasrah, tapi cintailah takdirmu. Dengan mencintai takdir, kamu akan sanggup menertawai diri sendiri ketika nasib sial menimpa, ketika hidup amat pilu, ketika waktu tidak bersahabat, ketika tidak seorangpun yang menolongmu, ketika menginjak kotoran hewan, ketika antrian diselak orang lain, ketika jagat raya menghempaskanmu ke dasar yang paling dalam hingga tak kuasa untuk berdiri. Kamu harus tetap bangkit. Jangan mati dan berhenti. Bukan kah hidup ini hanyalah senda gurau? Menari dan tertawalah!
Ada konsep menarik dari Nietzsche mengenai takdir, yaitu amor fati. Sebuah konsep yang juga diajarkan pada agama-agama di jagat raya. Melalui amor fati, Nietzsche berpikir bahwa kita harus menerima dan mencintai takdir; pahit, manis, baik, buruk, benar, dan salah. Semua kejadian pada masa lalu, kita harus menerima dan mencintainya karena seandainya seluruh air laut ditumpahkan ke darat untuk meluluhlantakan ingatan manusia, kita tetap tidak bisa mengubah dan melupakan. Ia akan selalu ada dalam benak kita. Kita harus menerima, mencintai, dan meyakini bahwa itu semua adalah bagian integral dari kehidupan kita.
Kamu pernah dengar kisah Sisifus dari Albert Camus? Ya, dia adalah seorang raja yang diberi kutukan oleh Zeus mendorong batu ke puncak Olympus secara berulang-berulang. Batu itu jatuh, ia mendorong kembali. Jatuh, dorong, jatuh, dorong lagi.
Kita mungkin memandang hukuman itu adalah hal yang konyol, sia-sia, dan tidak berguna. Akan tetapi, Sisifus tetap melakukan hukuman itu. Nyatanya, hidup kita tidak jauh berbeda dengan Sisifus. Segala aktivitas yang kita lakukan di dunia hanyalah sebuah siklus. Bangun-kerja-tidur dan akan berujung pada kematian. Kita adalah Sisifus dengan batu yang kita dorong sendiri-sendiri.
Kalau dari awal sudah tahu hal itu adalah sebuah kesia-siaaan, mengapa Sisifus tidak bunuh diri saja agar penderitaannya cepat berakhir?
Camus secara tegas menolak untuk bunuh diri. Seperti Nietzsche, ia ingin kita menerima dan mencintai takdir seburuk apa pun. Kita harus membayangkan Sisifus bahagia. Segala emosi; kesal, senang, bahagia ada di dalam dirinya. Begitulah caranya untuk menerima dan mencintai takdirnya.
Sekarang bagaimana pandanganmu tentang Sisifus?
Sudah dulu, ya. Nanti akan aku ceritakan kisah-kisah lainnya. Ingat, dunia ini hanyalah senda gurau. Menangis dan tertawalah jika memang harus.