MANUVER BARU FASISME

Tokoh-tokoh fasisme abad ke-20 dipastikan sudah punah. Tetapi, tidak dengan pemikirannya~

Ryasramzi
6 min readJan 18, 2020
Source: livesciences.com
Musollini (Kiri) dan Hitler (Kanan) Pemimpin Fasis.

Apakah mungkin sosok-sosok seperti Mussolini, Hitler, Tojo Hideki kembali lahir dalam sendi kehidupan masyarakat global dengan fasisme seperti yang terjadi pada awal abad ke-21;Kejahatan perang, genosida, rasisme, pribumisme, intoleransi, anti-LGBT terhadap untermensch?
Tentu saja, untuk mendapatkan jawaban di atas kita harus melihat dari varian spektrum yang luas.

GERBONG MASUK FASISME

Fascism is a religious concept.”

– Benito Mussolini (1883-1945), pemimpin fasis Italia.

Saya tegaskan, di bagian ini saya hanya membahas 'isme' apa yang mendorong terjadinya fasisme. Sedangkan untuk pembahasan fasisme di Indonesia saya akan uraikan di bagian yang lain.

Fasisme adalah sistem pemerintahan ultranasionalis otoriter. Pemerintahan-pemerintahan fasis berakar pada nilai-nilai sentral yang sama yaitu anti-komunisme, anti-liberalisme, dan anti-konservatisme.

Nah, fasisme ini berangkat dari ultranasionalisme yang berada di ujung paling kanan dalam segmen spektrum politik. Di Indonesia, kaum ultranasionalis seringkali mengaku orang paling pancasilais dan melabelkan diri sebagai pecinta toleransi. Fenomena ini muncul dari tahun politik 2014 sampai dengan sekarang. Atas nama Pancasila mereka membantah semua kritikan untuk petahana dan mengecam segala kritik itu sebagai bentuk perlawanan, 'anti-pancasila’, 'anti-NKRI’, makar, dan subversif.

Saya mempunyai seorang teman yang ultranasionalis--pertemanan tidak mengenal ideologi--dan aktif di sebuah ormas besar. Hampir di setiap kesempatan, dia selalu beretorika dengan semangat menggebu tentang patriotisme dan nasionalisme. Akal sehatnya tidak lagi bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Siap mati untuk Negara. Di bawah saktinya pancasila, apa dan siapa yang tidak sepakat dengan pemikirannya dianggap 'anti-pancasila’. Saya sering katakan kepadanya bahwa argumen dia itu tidak solid dan persis kaum fasis. Tetap, saja dia membantah. Pola ini persis ketika beberapa supporter klub sepakbola Italia dibilang fasis mereka tersinggung. Meskipun, secara pikiran dan tindakan tidak jauh berbeda dengan kaum fasis.

Ultranasionalis Indonesia hari ini barangkali tak perlu lagi memakai baju seragam loreng dan menggengam bendera di tangan. Orang terdekat kita bisa saja ultranasionalis yang kita kira nasionalis. Bisa juga kita mengira diri kita nasionalis, padahal ultranasionalis. Ultranasionalisme adalah jalan emas menuju fasisme di mana kebenaran dianggap fitnah, keadilan dituding sebagai separatis, dan aparat bersenjata jadi teladan sikap cinta bangsa.

SKALA GLOBAL

Hari ini, di belahan bumi lainnya. Diskriminasi, intoleransi, genosida masih terjadi. Ribuan orang terusir dari kampung halaman berkat sentimen ‘keaslian’ dan ‘keunggulan’ ras, etnis, atau agama atas untermensch menandakan benih-benih fasisme masih ada atau mungkin terlahir kembali. Kita bisa menyaksikannya persis terjadi di Amerika Serikat, Brasil, Filipina, Bolivia, India dan berbagai tempat lain di dunia.

“Make Fascism Great Again” Source: TheConversation

Di Amerika Serikat, ideologi white supremacy semakin kuat seiring terpilihnya Donald Trump sebagai presiden. Bagi sebagian warga Amerika Serikat, slogan kampanye “Make America Great Again"—meski tidak eksplisit rasis—jelas menggarisbawahi bahwa Paman Sam yang jaya adalah yang seperti dahulu, ketika kelompok White Anglo-Saxon Protestant (WASP) menguasai pemerintahan, ekonomi, dan budaya populer di dalam negeri. Kondisi di mana para imigran non-Eropa, orang kulit berwarna, perempuan, kelompok LGBTQ, penganut agama non-Protestan, dan kaum marjinal lain mendapatkan hak, akses, dan pencapaian yang setara dengan WASP dianggap sebagai sumber aneka masalah: keterbatasan lapangan kerja, susahnya masuk perguruan tinggi bermutu, asuransi kesehatan yang mahal, rusaknya moralitas, hingga terorisme.

Di Filipina, masyarakat perempuan ditembak tepat di alat vitalnya, ribuan petani yang terafiliasi dengan New People’s Army (NPA) dibinasakan oleh kelompok vigilante, menembak mati pengguna narkoba dengan dalih pemberantasan kejahatan di bawah rezim Duterte. “Aku akan mengikuti Amerika, sebab mereka bilang aku adalah seorang bocah Amerika. Baiklah, memang aku mengakui bahwa diriku adalah seorang fasis, tapi aku akan mengkategorikan Anda sebagai teroris.”(tirto.id.com)

Di Brazil, presiden Jair Bolsonaro menyatakan “Brazil yang paling penting dan Tuhan di atas segalanya." Meski sekilas menunjukkan patriotisme dan kesalehan yang wajar, slogan ini menggarisbawahi sentimen kebencian terhadap masyarakat asli, warga kulit hitam, keturunan imigran Asia, Timur Tengah, Afrika, dan bagian Amerika Latin lainnya, perempuan, serta kelompok LGBTQ. Bolsonaro memenangkan pemilihan umum setelah menyebarkan propaganda bahwa resesi berkepanjangan di Brazil terjadi karena pemerintahan sebelumnya mengalokasikan kekayaan negara guna mensubsidi perekonomian dan pendidikan masyarakat asli, warga kulit hitam, dan keturunan imigran. Bolsonaro juga menyalahkan Partai Pekerja yang menurutnya adalah sumber dari segala permasalahan di Brazil, dari pengangguran hingga tingginya angka kriminalitas.

TRANSFORMASI FASISME DI INDONESIA

"Meningkatnya intensitas isu LGBT, kembali menguatnya perbincangan tentang tragedi 1965 dan segala bentuk politisasi isu tentangnya, kekerasan terhadap kelompok-kelompok minoritas, serta berbagai isu rasial yang muncul belakangan ini menguatkan fakta bahwa fasisme sedang menampakkan kembali sosoknya ke permukaan," Timo Duile, dalam tulisannya di Deutsche Welle Indonesia (DW).

Musuh Itu Hanyalah Realitas yang Dibayangkan
Entah, sejak zaman ORBA sampai pasca-reformasi ini. Pemerintah dan aparatur bersenjata atau mereka yang mengatasnamakan nasionalis sejati kerap kali dihantui oleh musuh imajiner ini. Kalau kita melihat diskusi umum di Indonesia, nasionalisme dewasa ini terutama diwujudkan elit politik melalui PKI yang dianggap sebagai musuh. Walaupun tidak ditemukan adanya keberadaaan PKI baru yang nyata, banyak penjabat negara dan TNI terus-menerus mengulangi peringatan mengenai ancaman PKI yang bangkit kembali. Melalui wacana itu, budaya ketakutan dipilihara. Selama masyarakat merasa terancam dan percaya kepada musuh imajiner, masyarakat tidak mampu menjadi dewasa dalam pikirannya, yaitu bertanggung jawab atas nasib bangsa tapi ingin dipimpin saja. Karena itu, menciptakan ketakutan irasional itu sangat berbahaya bagi demokrasi dan penjabat negara dan TNI harus sadar bahwa itu kalau mereka mau melestarikan demokrasi.

Menolak Keragaman
Sejak identitas keindonesiaan didefinisikan terkait dengan interpretasi agama yang sempit dan konservatif, kelompok minoritas seksual LGBT (lesbian, gay, biseksual, transeksual) kemudian dianggap pula sebagai musuh, sama saja seperti PKI. Walaupun secara objektif mereka sama sekali tidak berbahaya – tidak ada LGBT yang mengancam orang atas nama identitas mereka. Beda hal nya dengan para fasis dan fundamentalis. Misalnya, apa yang terjadi hari ini pada Walikota Depok. Idris salah kaprah dalam menginterpretasikan LGBT sebagai orientasi seksual atau perilaku sehingga harus dirazia dan kaum LGBT tidak diberikan ruang.

Identitas yang tidak rasional layak untuk diperalat gerakan fasis.
Menyangkut soal LGBT, kepanikan yang muncul adalah kepanikan moral. Dalam argumentasi fasis, LGBT dianggap merusak moral bangsa Indonesia, dan karena itu lebih baik mengancam LGBT, karena LGBT dituding mengancam moral bangsa.

Identitas fasis membutuhkan identitas yang berciri eksklusif, identitas yang sempit dan tidak mampu menerima keragaman. Wawasan Nusantara sebagai dasar identitas kini sudah mulai menjadi lebih eksklusif sejak kaum fasis dan fundamentalis agama sebagai identitas menjadi lebih penting.

Preman Berideologi
Premanisme yang berdasar ideologi, seperti preman-preman agama, ormas, suku, atau preman yang beroperasi atas nama negara, sudah bisa merupakan benih-benih fasisme. Ide mereka akan menyebar jika tidak dilawan oleh negara hukum dan masyarakat sipil.

Di Indonesia, institusi negara cukup sering bekerjasama dengan kelompok proto-fasis ini karena negara tidak mampu melawan kekerasan dan ancaman yang dilakukan mereka. Atas tujuan melawan musuh imaginer, polisi menyebut rombongan preman ormas sebagai partner.

Dalam kasus fobia-komunisme, masyarakat dibuat panik melalui musuh yang mereka kenal sejak lama melalui propaganda Orde Baru, sehingga mereka dengan mudah ditakuti dengan hantu komunisme. Kita tentu saja tidak asing dengan razia buku berhaluan marxis di berbagai tempat oleh sekelompok orang bergamis dan aparatur bersenjata atau mungkin ramai-ramai memburu sesiapa yang identik dengan PKI. Kondisi panik ini diciptakan untuk mempersatukan kelompok atas nama ideologi. Padahal, kepanikan dan ketakutan itu diciptakan oleh pemimpin mereka sendiri.

REFLEKSI
Sejarah Jerman telah memberi pelajaran berharga, bahwa kelompok Nazi yang menjunjung sikap fasis dan totaliter akhirnya membawa Jerman ke tepi jurang kehancuran. Propaganda kemakmuran, kemajuan, kesejahteraan dan perdamaian yang dibawa oleh kelompok radikal tersebut justru telah menciptakan kesengsaraan, kemiskinan, kesedihan, dan tentu saja kematian jutaan rakyat Jerman.

Kita harus sadar bahwa perdamaian dunia dan peradaban tidak berdiri di atas tendensi yang pro kelompok mayoritas, agama, atau ras tertentu.
Indonesia tentu saja belum menjadi negara fasis. Jelas, Indonesia punya tradisi kebhinekaan yang panjang dan impian untuk membangun negara sebagai bingkai untuk tinggal bersama, agar setiap individu bisa hidup merdeka.

"I’m gonna tell all you fascists, you may be surprised
People all over this world are getting organized
You’re bound to lose
You fascists are bound to lose
"
Woody Guthrie - All You Fascists

--

--

No responses yet