Manifestasi Evolusi Teknologi dan Konsekuensinya Terhadap Kehidupan Sosial

Salah satu konsekuensi logis dari evolusi teknologi adalah terjadinya disrupsi dalam kehidupan sosial

Ryasramzi
4 min readNov 13, 2019
Illustrasi kemajuan teknologi
Illustrasi Kemajuan Teknologi

Tulisan singkat ini hanyalah representasi dari kegelisahan yang saya alami dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana tidak, interaksi sosial yang kita lakukan hampir semua berbasis digital.

Dahulu, ruang-ruang dialektika selalu dilakukan di pos ronda, warung kopi, halte, teras rumah, di desa, di kota, di kita, dan di mana-mana. Kini, ruang-ruang itu telah bergeser menjadi entitas virtual sebagai konsekuensi dari revolusi industri 4.0 yang berimplikasi pada disrupsi teknologi dan perubahan sosial. Iya, betul. Kemajuan teknologi adalah keniscayaan yang tidak dapat kita hindari. Tetapi, kemajuan teknologi dapat kita kendalikan dengan memanfaatkannya dengan selektif dan bijak bukan malah overused sampai melupakan realitas yang objektif.

Hari ini, smartphone hadir sebagai antitesis komputer yang menghiasi sudut-sudut kantor dan telah menjadi instrumen penting di era Internet of Things. Rasa-rasanya, saya tidak perlu menjelaskan secara terperinci sejarah, harga, dan spesifikasi smartphone. Toh, kita semua sudah tahu betul. Melalui tulisan yang singkat ini, saya tidak menolak kemajuan teknologi yang berlangsung sangat pesat. Karena dengan sangat keras, saya katakan, saya bukan orang yang mendewa-dewakan status quo. Kemudian, yang menjadi kegelisahan saya adalah perilaku orang-orang kita yang salah kaprah dalam menggunakan kecanggihan teknologi dan internet ini yang menganggu kehidupan sosial. Bayangkan, dari bangun tidur sampai hendak tidur, kita sibuk dengan smartphone.

Source mbah Gugel
Nunduk mulu, lagi dzikiran apa lagi jadi cosplayer zombie?

Dinamika kehidupan sosial kita telah berubah. Rumah dan keluarga yang seharusnya menjadi ruang komunikasi tatap muka dan pembinaan karakter paling fundamental telah bergeser amat jauh menjadi wifi corner. Kemudian, mendisrupsi Whatsapp Group (WAG) Keluarga yang fungsi awalnya adalah sebagai wadah silaturahmi antar individu menjadi wadah menyebar berita-berita hoax. Fenomena ini bahkan tidak berhenti sampai di sini. Di sekolah, kampus, warung-warung kopi, dan di mana-mana, tiap-tiap individu memiliki hobi baru. Yaitu, menunduk sepanjang waktu sembari menatap layar ponsel. Mungkin sedang berdzikir. Dalam tataran yang lebih luas, orang-orang kita lebih suka belajar agama lewat internet. Internet sebenarnya bukan media yang kurang lengkap perihal penyedia bidang keilmuan agama, apapun bisa diperoleh dari sana, mulai dari kitab suci sampai karya-karya para ahli agama yang sudah sangat lengkap. Tetapi kita tak boleh menganggap internet sebagai satu-satunya media untuk menggali pemahaman agama tanpa mengkonfirmasi kepada ahlinya. Tidak menutup kemungkinan, kelak akan ada tuhan, nabi, dan malaikat versi virtual berkat evolusi teknologi yang berkembang pesat ini.

Agama Data

Padahal kemampuan otak manusia dalam menginterpretasikan makna, menurut saya, dapat menjadi alternatif pilihan dalam menghadapi terjangan informasi. Ketika derasnya arus informasi membanjiri kehidupan keseharian kita, otomatis cara menangkalnya ialah dengan memilah informasi yang bermakna dengan yang tidak bermakna. Kecerdasan mengelola makna inilah yang tidak dimiliki oleh Artificial Intellegence. Artificial Intellegence hanya mampu mengelola data sesuai perintah algoritma-algoritma elektronik, ia tidak bisa mengelola makna yang terkandung di tiap-tiap informasi. Manusia secara luar biasa mampu menciptakan makna bagi kehidupan dirinya di dunia.

Namun, menguasai kemampuan mengelola makna bukanlah hal yang mudah. Kita perlu merangsang kemampuan otak kita dalam mengelola data menjadi bermakna atau tidak bermakna. Kemampuan mengelola makna inilah yang menjadi awal berkembangnya manusia. Dan bagi saya, hal ini pulalah yang pada akhirnya menyelamatkan manusia dari ketidakberdayaan mereka menghadapi gempuran teknologi.

Memparafrasekan Yuval Noah Harari, penulis buku Sapiens dan Homo Deus mengatakan kemungkinan dalam 200 tahun ke depan homo sapiens (manusia) bakal meningkatkan diri mereka menjadi semacam dewa, entah lewat rekayasa genetika atau menciptakan cyborg, gabungan antara makhluk organik dengan teknologi. Tidak ada yang salah dengan teknologi, sebagai “man behind the gun” kita lah yang salah.

Yuval menjelaskan bahwa munculnya internet memberi kita perubahan selera atas berbagai hal. Ranah maya kini krusial bagi kehidupan kita sehari-hari, termasuk pada ekonomi dan keamanan kita. Namun, pilihan penting diantara berbagai hal yang dikonstruksi di dunia maya tidak diambil melalui sebuah proses politik yang demokratis, sekalipun menyangkut hal-hal yang melibatkan isu-isu politik tradisonal seperti kedaulatan, perbatasan, privasi dan kemanan. Internet adalah zona bebas dan tanpa hukum yang merontokkan kedaulatan negara, mengabaikan perbatasan, menghilangankan privasi dan memunculkan risiko keamanan global yang mungkin paling dahsyat.

Akibatnya, pemerintahan dan organisasi nonpemerintah melakukan perdebatan intensif tentang restrukturisasi internet, tetapi jauh lebih sulit mengubah sistem yang sudah ada ketimbang mengintervensi saat kelahirannya.

Kita harus dapat memilih secara benar informasi bermakna dan tidak bermakna sekaligus membangun kesadaran digital kolektif. Dengan demikian, kita dan generasi setelah kita tidak jatuh pada determinisme teknologi, melainkan mampu beradaptasi atau bahkan mengkontrol teknologi ke arah yang lebih bermanfaat bagi bumi dan ekosistem yang ada di dalamnya.

Referensi

  1. Harari, Yuval N. 2018. Homo Deus. Tangerang Selatan: PT Pustaka Alvabet
  2. Harari, Yuval N. 2017. Sapiens. Tangerang Selatan: PT Pustaka Alvabet
  3. https://www.translate-trade.com/en/about-us/state-of-the-art-technology/
  4. https://www.spikeartmagazine.com/en/articles/art-was-only-substitute-internet-talk-about-net-art
  5. https://www.zenius.net/blog/21104/revolusi-industri-4-0

--

--

No responses yet