FAI UMJ: Birokrasi yang Semrawut dan Mahasiswa Superior

Mahasiswa FAI UMJ adalah kumpulan orang dengan pemikiran rasional, semangat menggebu, tetapi penakut

Ryasramzi
6 min readDec 28, 2019
Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Jakarta

Masalah Birokrasi yang Semrawut

Independensi tidak mengenal apa dan siapa dalam menulis fakta.

Bapak/Ibu Dosen/Saudara/i yang saya hormati. Hentikan glorifikasi universitas sebagai pencetak insan intelektual selama birokrat kampus terus menganggap universitas sebagai ladang investasi dan kekuasaan, maka ia akan terus menjajal pola birokrasi yang pakem guna mengukuhkan pengaruhnya atas mahasiswa. Apalagi jika mahasiswa dianggap hanya sekadar barang dagang dengan embel-embel lulus cepat dan pekerjaan bagus, kritisisme akan menjadi barang mewah dalam kebebasan akademik mahasiswa.

Birokrasi dalam suatu kampus dapat disebut ideal jika semua fungsi akademik, keamanan — juga menyangkut hubungan mahasiswa dengan dosen, beserta perangkat kampus lainnya — berjalan dengan normal sesuai fungsinya masing-masing.

Dari awal masuk sampai sekarang duduk di semester 3, saya mengamati berbagai macam isu tentang masalah antara mahasiswa dan birokrat FAI. Proses administrasi yang dipersulit, Sistem akademik yang merugikan mahasiswa, ruang gerak mahasiswa yang dipersempit, berbagai macam bentuk intimidasi — DO, skorsing, kekerasan fisik, bahkan seksual — yang dilakukan pihak paling superior baik dosen maupun birokrat.

Pernah saya dan teman-teman meminta secara baik-baik kepada pihak terkait untuk mengurusi data kami yang tidak terinput di absensi kehadiran. Kemudian, jawaban yang kita dapat seperti biasa “Ya, baik. Kami akan urus secepatnya. Nanti kamu kembali lagi saja ke sini” dan setelah kita kembali ke ruangan YBS dan taraaaaa abracadabraaa apa coba yang kita dapat? cacian dan makian “Kenapa baru sekarang kamu bilang?” Aneh, bukan kah dia yang menyuruh kita untuk kembali ke ruanganya. Birokrat semacam ini mungkin mempunyai 2 permasalahan; Ia mempunyai masalah short-term-memory atau Ia mempunyai masalah dengan keluarganya.

Permasalahan lain, perubahan jadwal UTS yang berubah secara mendadak dan pihak YBS baru memberitahukan 1 jam sebelum ujian mata kuliah berlangsung. Sontak, membuat saya yang mempunyai aktivitas di luar kampus tidak terima. Asumsi, YBS pernah mengatakan kepada saya bahwasanya batas maksimal sks, jadwal kuliah, ruangan, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan KBM tetap merujuk pada kartu KRS apabila sistem website FAI down . Dan, membuat saya diusir dan tidak bisa mengikuti UTS mata kuliah yang mengalami perubahan jadwal tersebut bahkan tidak diperkenankan mengikuti ujian susulan. Setelah kejadian itu, dengan konyol, saya sempat berteriak di depan pintu ruangan Bag Akademik yang kemudian birokrat dari bagian lain menanggapi bahwasanya sistem akademik di sini memang tidak jelas.

Belum lagi masalah dosen dan birokrat cabul, yang senang dipuji marah ketika dikritik. Saya pernah meluruskan argumen dosen pada salah satu mata kuliah. Beliau mengklaim bahwasanya “Tuhan telah mati” itu dicetuskan oleh Karl Marx. Saya meluruskan bahwasanya Nietzsche lah mengatakan itu. Kalau yang mengatakan “agama adalah candu” atau “Religion is the opium of the messes” itu Marx. Tetapi, beliau tetap keukeuh. Atau pertanyaan saya tentang independensi pers Indonesia masa kini. Tebak apa jawaban yang saya dapat? saya dicap “sok idealis, ateis, sok bgt dan bla bla bla…” Ini lucu, kompetensi dosen FAI jelas harus dipertanyakan. Itu baru satu dosen, dengan masalah sepele tetapi serius. Pada mata kuliah yang lain pun saya mempunyai pengalaman menggelitik dan menjengkelkan.

Itu baru di ruang lingkup perkuliahan. Belum lagi, masalah teman saya yang kehilangan motor di kampus dan tidak adanya pertanggungjawaban dari pihak kampus, masalah sign titik kumpul yang peruntukan mahasiswa tetapi dijadikan lahan parkir motor karena memang FAI tidak mempunyai lahan parkir yang luas ha ha ha, sistem pembayaran online / otp yang ribet, septictank yang sangat bau busuk, tidak adanya SOP, sistem peminjaman buku perpustakaan yang menyulitkan mahasiswa, tidak adanya aula fakultas yang sesuai dengan jumlah kapasitas mahasiswa, perizinan peminjaman kelas yang dipersulit, tidak adanya jalur evakuasi dan jalur khusus kaum disabilitas, dan masih banyak lagi.

Intervensi birokrat FAI UMJ harus diakui sangat mengerikan. Seandainya gedung itu dijungkirbalikan agar semua barang-barang berharga yang dibutuhkan seluruh entitas FAI jatuh berceceran, maka pasti itu dilakukan. Tidak ada yang namanya keseimbangan. Instrumen yang disebut peradaban tidak bisa disebut beradab. Terlalu banyak pembenaran di dalam hukum adabnya.

Birokrasi FAI UMJ

Dengan kondisi birokrasi yang membunuh kita secara perlahan memberi isyarat bawasannya perlu membangun kembali pondasi-pondasi gerakan Mahasiswa dengan harapan bisa menetralisir kebijakan-kebijakan birokrasi FAI. Dengan titah mensejahterakan atmosper kehidupan kampus memberi kode kepada seluruh entitas mahasiswa bahwa kajian-kajian birokrasi menjadi hal mendasar bagi Mahasiswa. Bila kita tidak mengawalnya dengan baik, maka birokrat dengan seenaknya mempermainkan sistem-sistem kampus. Mahasiswa harus memandang birokrasi sebagai alat jitu untuk memperluas praktik demokrasi. Oleh karena itu, birokrasi sebagai media pengembang ini bisa berfungsi sebagai jembatan bagi pelaksanaan setiap kebijkan-kebijkan administratif dari penguasa dengan aspirasi masyarakat kampus. Asal Mahasiswa mampu mengontrol jalannya demokrasi kampus secara progres.

Birokrasi yang baik tidak harus bertele-tele, salah satu indikator sistem yang birokrasinya baik adalah efisiensi. Apabila birokrasi dalam suatu sistem efektif, maka efektiflah sistem tersebut. Birokrasi merupakan representasi dari sistem yang ada, dan berfungsi untuk mengamankan aset organisasi serta memberi pelayanan yang baik dan efektif.

Maka, adalah tugas kita bersama bukan saya sendiri untuk terus mengupayakan agar demokratisasi FAI UMJ menjadi hal yang mungkin terjadi agar kemudian keterbukaan informasi perihal kelembagaan dan menjamin suasana birokrasi yang sehat, adalah syarat bagi kemerdekan berpikir para intelektual yang akan menjalankan catur dharma perguruan tinggi. Pendidikan, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, dan AIK.

Masalah Kemahasiswaan

Dengan orientasi pendidikan yang mencetak keseragaman karakter, kuasa bahasa adalah salah satu jalan ampuh yang lazim digunakan pihak kampus. Birokrat kampus, dosen, senior, dan alumni tentu memiliki akses berlebih guna membubuhkan jargon-jargon demi kuasa bahasa yang tak terbatas atas mahasiswa tingkat bawah. Belakangan jargon yang sering — bahkan mungkin inilah budaya kita — mencuat dalam setiap ruang gerak di FAI adalah keluarga. Saya pun pernah tertapapar magis diksi “keluarga” ini.

Ketika saya mulai membuka argumentasi pada diskusi kecil-kecilan mengenai hubungan visi-misi FAI UMJ dan konsep deliberate practice, birokrat pun menutup diskusi dengan kalimat yang sangat menakjubkan, ”Kita ini kan keluarga. Kami orang tua kalian di kampus. Kita punya arahan buat kalian, punya visi-misi buat kalian. Selama itu bagus menurut kita, itu pasti baik buat mahasiswa.” Atau ketika mereka yang mengaku senior meminta kita untuk memberikan ide dan gagasan. Tetapi, setiap kita berikan, mereka menolak. Pola-pola birokrat, dosen, dan senior pun selalu sama. Bukan saja diksi keluarga, tetapi diksi tidak sesuai dengan budaya FAI. Jujur, ini sangat ironis. Orang tua kandung saya saja memberi kebebasan berilmu dan pengetahuan, kenapa mereka yang mengaku sebagai orang tua di kampus harus memukul rata isi kepala semua mahasiswa? Hadeuh, kurang main ke JM, nih.

Diksi ”keluarga” dalam penyelesaian masalah dengan mahasiswa adalah bentuk lain upaya dari birokrat kampus, dosen, dan senior untuk mengukuhkan posisinya di dalam menara dinasti FAI. Mahasiswa seakan-akan dijadikan barang jualan, dan mereka adalah penyelamat mahasiswa. Dengan isitilah dari Paulo Freire, kerja macam ini disebut dengan solider semu.

Kini kita akan sering melihat partisipasi mahasiswa dalam pembangunan kampus semakin ke sini semakin dikurangi. Mahasiswa semakin didikte oleh kampus dan merasa semuanya seolah baik-baik saja. Proses pendidikan berakhir satu arah. Ruang dialog di dalam pendidikan pun tambah menyempit jika fenomena ini terus dibiarkan. Kuasa bahasa dalam diksi ”keluarga” menjerat mahasiswa sampai di titik kesadarannya.

Akan tetapi kesadaran-kesadaran naif dari mahasiswa ini bukan terbersit begitu saja. Ia ada lantaran kuasa bahasa kampus dijejalkan bersamaan dengan proyek pembangunan fisik yang memukaukan mata. Kesadaran naif mahasiswa lantas menjadi produk turunan dari orientasi pendidikan yang serba materialistik. Setelah itu, birokrat kampus, dosen, dan senior menjadi kelas dominan. Pikiran dan rasa mahasiswa tersamakan oleh hegemoni kampus.

Kemudian, kita selalu dihadapkan pada banyaknya fraksi yang muncul di kampus ini. Hal yang tak terhindarkan karena memang kadar kepentingan yang selalu tidak seragam. Selalu ada “kelompok kecil” dan “kelompok besar” dari si akademisi maupun organisatoris. Kita harus masuk ke salah satunya atau kita akan dianggap sampah yang musti menyingkir jauh-jauh. Tidak mungkin juga kita mengasingkan diri di pojokan kampus ini dan menjalani kehidupan dengan cara kita sendiri. Itu antara gila atau sudah menjadi manusia setengah dewa.

Ketidaksukaan dan perlawanan terhadap aturan dan norma yang ada tidak musti dilakukan dengan kekerasan fisik. Tulisan sampah seperti ini sebenarnya mampu menggedor meriam maupun teriakan gaduh para birokrat ajaib dan mahasiswa FAKEtivist atau menurut Gie wajah mahasiswa bopeng sebelah yang bermental sok kuasa. Merintih ketika ditekan, tetapi menindas ketika berkuasa. Mementingkan golongan, ormas, ormawa, dan teman se-ideologi.

Merasa superior dengan glorifikasi jabatan yang pernah atau sedang diemban untuk kemudian mendiskreditkan mahasiswa lain hanya karena memilih jalan yang berbeda adalah hal yang sangat konyol.

Apa pun yang kamu lakukan untuk menghabiskan masa kuliahmu, kalau tujuannya cuman buat pamer dan ingin menunjukan kalau “saya menghabiskan waktu kuliah dengan lebih berfaedah dari kamu”, seberapa mentereng prestasi, pengalaman organisasi, atau aktivitas advokasi yang ada di CV mu, pada akhirnya kamu akan tetap menjual diri di pasar kerja. Karena itu kan yang ada di kepalamu? Cuma persaingan bukan persatuan.

Bagi yang tak sependapat, saya tak mau berdebat. Bagaimanapun kita satu fraksi yang sama-sama sedang menunggu kiamat.

Panjang umur kata-kata, panjang umur perbuatan.

--

--

Responses (1)