Analisis Komunikasi Pemerintah di Tengah Pandemi

Buruknya komunikasi yang dilakukan pemerintah merupakan bukti kepanikan dan kegagapannya dalam merespons krisis

Ryasramzi
7 min readApr 20, 2020

Komunikasi merupakan entitas fundamental dalam pemerintahan agar koordinasi lintas sektor dan kebijakan yang dibuat sinkron serta menghindari risiko mispersepsi yang terjadi di lingkup internal maupun eksternal — Pemerintah bisa dilihat sebagai salah satu unsur komunikasi yang berbentuk organisasi dan mengadopsi ciri-ciri birokrasi, yang memiliki struktur internal yang kompleks serta diharuskan melakukan komunikasi kepada publik. Oleh sebab itu, permasalahan komunikasi yang dilakukan pemerintah, tidak hanya dilihat secara komunikasi eksternal saja, melainkan juga harus dilihat dari komunikasi internalnya.

Sehingga, paradigma komunikasi pemerintahan sangat sesuai untuk melihat kemelut komunikasi pemerintah di saat penanganan pandemi Covid-19 ini, di mana paradigma ini menggunakan berbagai kajian komunikasi lain sebagai metodologi untuk membuat konstruksi lain dalam pengalokasian ruang lingkupnya, salah satunya adalah komunikasi publik yang memperlihatkan komunikasi eksternal pemerintah, dan komunikasi organisasional untuk melihat komunikasi internalnya.

Sayangnya, komunikasi publik pemerintah masih belum bisa mencapai ekspektasi masyarakat, belum bisa menghadirkan kepercayaan dan rasa aman masyarakat. Dengan gaya penyampaian informasi yang cenderung menyepelekan, meremehkan kedaruratan pandemi, dan kesimpangsiuran informasi yang berasal dari banyak pintu. Alhasil, Pemerintah belum melakukan komunikasi publik yang efektif sehingga berimplikasi pada menurunnya public trust bahkan gagal dalam beberapa kondisi tertentu.

Bukti buruknya komunikasi pemerintah

Berikut adalah buruknya komunikasi yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan dan/atau pejabat negara sebelum dan sesudah terjadi pandemi Covid-19 di Indonesia.

Pada 27 Januari 2020, Menkes menginformasikan masyarakat dengan berkata “Enjoy aja, makan yang cukup”.

Informasi yang dikatakan oleh Menkes ini akan menimbulkan bias informasi. Secara biologi, betul. Dengan makan yang cukup akan memperkuat imunitas tubuh dan mengurangi risiko terjangkit Covid-19. Tetapi, makan saja tidak cukup. Makan yang cukup bukanlah kunci utama dalam pencegahan Covid-19. Seharusnya, disamping menginformasikan langkah preventif, Menkes juga mengambil langkah kuratif agar kongkrit. Akhirnya apa? setelah Covid-19 ini benar-benar terjadi di Indonesia, pejabat pemerintahan kalang kabut yang akhirnya membuat masyarakat panik.

Pada 15 Februari 2020, Menko Perekonomian Airlangga Hartanto dan Menko Polhukam Mahfud MD berkelakar soal pandemi Covid-19 ini. Melalui unggahannya di Twitter, mereka mengatakan bahwa virus Corona tidak masuk ke Indonesia karena proses izin yang berbelit-belit.

Kalau kita perhatikan dengan konteks perijinan memang tidak salah. Tetapi, di tengah situasi wabah global atau pandemi ini, seharusnya, mereka tidak perlu berkelakar dengan gaya khas boomer itu. Alih-alih memberikan rasa aman pada masyarakat, mereka justru mempetontonkan kebodohan di ruang publik. Seharusnya, cukup katakan “Virus Corona belum masuk ke Indonesia” disertai alasan yang rasional dan tidak perlu berkelakar yang mengimplikasikan adanya tendesi meremehkan.

Pada 17 Februari 2020, Menhub Budi Karya Sumadi berkelakar soal pandemi Covid-19. Ia berkelakar “Masyarakat Indonesia kebal Corona karena gemar makan nasi kucing”.

Lagi-Lagi, pejabat pemerintahan Indonesia mempertontonkan kebodohannya. Kelakar ini yang pada akhirnya menjadi boomerang bagi Menhub. Pada 15 Maret 2020, Menhub dinyatakan positif Covid-19. Padahal, jika pada saat itu Covid-19 belum terjadi di Indonesia, cukup komunikasikan “Belum terjadi” tidak perlu membangun narasi yang mengimplikasikan tendensi meremehkan atau menyepelekan.

Pada 29 Februari 2020, Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengatakan “Berkat doa Kiai dan qunut, virus Corona menyingkir”.

Seharusnya, Wapres mengubah konstruksi komunikasinya menjadi “Perbanyaklah berdoa dan berzikir di tengah musibah ini”. Kalau seperti ini, sebagai pejabat pemerintahan, tentu, ada benarnya. Sudah seharusnya ia memberikan rasa aman kepada masyarakat. Tetapi, kalau merujuk pada konstruksi komunikasi awal tanpa disertai penjelasan ilmiah, jelas ini adalah blunder yang pada akhirnya mengkonstruksi pemikiran masyarakat “Apakah do’a sudah tidak makbul?”

Pada 2 Maret 2020, satu hari setelah Walikota Depok Muhammad Idris menyampaikan bahwa pasien kasus 1 dan 2 telah positif mengidap Corona. Sekda Kota Depok, Hardiono diminta oleh pemerintah pusat untuk diam atau tidak menginformasikan berita terlebih dahulu.

Pertanyaannya adalah apa motivasi pemerintah pusat menunda informasi kasus Covid-19 pertama ini? Kalau alasannya adalah untuk menghindari kepanikan massal, jelas ia telah melakukan fallacy of causation. Justru, dengan transparansi informasi mengenai kasus Covid-19 — trayek perjalanan dan sebaran bukan identitas korban — akan membuat masyarakat aman. Bagaimana masyarakat bisa percaya kepada pemerintah jika informasi masih saja dimonopoli?

Pada 10 Maret 2020, Pemerintah Pusat dan Pemprov Bali melakukan miskomunikasi soal pasien ke-25 yang meninggal asal Inggris. Sebelumnya, ia diduga berstatus PDP sampai akhirnya Pemerintah Pusat menginformasikan bahwa ia positif. Kasus underdiagnosed ini mirip yang terjadi di Cianjur.

Pada 21 Maret 2020, tumpang tindih antara Pemprov Banten dengan Pemerintah Pusat terkait jumlah pasien. Pemprov Banten menyebut pada 21 Maret ada 23 kasus positif Corona merupakan warganya. Sedangkan Jubir Penanganan COVID-19, Yurianto membantah pernyataan tersebut. Yurianto menyatakan ada 27 kasus positif Corona di Banten.

Sebenarnya, ada apa di balik semua ini? Apakah miskomunikasi ini terjadi karena human-error — kesalahan dalam penginputan — atau ego-sektoral antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah?

Pada 2 April 2020, Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengklaim bahwa Covid-19 tidak kuat dengan cuaca panas di Indonesia. Hal ini yang akhirnya menjadi perdebatan baru.

WHO menggugurkan klaim Luhut bahwa cuaca panas tidak berpengaruh terhadap Covid-19. WHO mencatat kasus infeksi COVID-19 tetap terjadi di negara-negara beriklim panas seperti Arab Saudi dan negara di timur tengah lainnya. WHO menyarankan masyarakat melindungi diri dari COVID-19 dengan cara rajin mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir. Selain itu setiap orang juga diimbau untuk tidak menyentuh mata, mulut dan hidung terlebih saat tangan kotor.

Pada 2 April 2020, Mensesneg Pratikno merevisi pernyataan Jubir Presiden, Fadjroel Rachman. Sebelumnya, Jubir Presiden, Fadjroel Rachman menyatakan “Mudik tidak dilarang. Wajib isolasi mandiri selama 14 hari” kemudian, direvisi oleh Pratikno “Yang benar adalah pemerintah mengajak dan berupaya keras agar masyarakat tidak perlu mudik”.

Nah, lho. Sekelas Jubir Presiden direvisi. Ini membuktikan komunikasi dan koordinasi lintas sektor yang sangat buruk. Miskomunikasi seperti yang terjadi di kepanitiaan ini yang membuat masyarakat terdistorsi. Apakah pernyataan Jubir selama ini salah? Siapa yang seharusnya dipercaya dalam memberikan informasi?

Pada 3 April 2020, pernyataan Tenaga Ahli Utama KSP Ali Mochtar Ngabalin diralat oleh Plt Deputi IV KSP Juri Ardiantoro. Ngabalin awalnya menyebut, seorang pegawai di Kantor Staf Presiden (KSP) dinyatakan positif corona Covid-19.

Dalam waktu dua hari, pejabat pemerintahan telah melakukan dua kali miskomunikasi. Miskomunikasi yang telah dilakukan oleh pejabat pemerintahan sangatah fatal karena ini menyangkut pandemi Covid-19 dan keselamatan banyak orang. Akhirnya, pertanyaan-pertanyaan yang ada tidak berhasil dijawab.

Pada 9 April 2020, untuk kesekian kalinya, jenazah ditolak warga di Semarang.

Saya melihat, adanya bentuk diskriminasi dari warga — penolakan pemakaman, pengusiran tenaga kesehatan, dsb. — adalah wujud dari kurang efektifnya komunikasi yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Daerah. Berikan komunikasi yang intens dan berkala mengenai protokol dan SOP Covid-19 kepada masyarakat dengan bahasa yang sederhana.

Solusi: Mengubah strategi komunikasi

Menurut Whisnu Triwibowo, dosen Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia. Terdapat sebuah kerangka komunikasi publik yaitu model Crisis and Emergency Risk Communication (CERC) yang digunakan pada keadaan luar biasa.

Dasar filosofis dari CERC adalah bahwa publik berhak mendapatkan informasi akurat terkait krisis yang terjadi. Informasi harus secara lengkap memaparkan kondisi krisis yang terjadi dan risiko yang ada agar membantu publik membuat keputusan rasional. Komunikasi menjadi alat agar publik mengadopsi perilaku yang diharapkan untuk mengurangi risiko.

CERC memadukan strategi komunikasi risiko (risk communication) yang umum digunakan sektor pemerintah dalam keadaan darurat dan komunikasi krisis (crisis communication) yang digunakan sektor swasta untuk menghadapi krisis organisasi. Tahapannya sebagai berikut:

1. Sebelum krisis (pre-crisis)

2. Awal krisis (initial event)

3. Selama krisis (maintenance)

4. Resolusi (resolution)

5. Evaluasi (evaluation)

Pada tahap sebelum krisis, pemerintah berkomunikasi dengan publik untuk memberikan pengetahuan awal agar publik memahami dan menyiapkan diri terhadap krisis yang dihadapi.

Tujuan komunikasi pra-krisis ini untuk meningkatkan kepercayaan diri publik dan juga mengajak semua pemangku kepentingan untuk mengkomunikasikan hal yang sama.

Memasuki fase awal krisis, pemerintah perlu menyediakan informasi melalui satu pintu. Ini memudahkan sirkulasi dan mencegah kesimpangsiuran berita.

Pemerintah perlu menyusun pesan yang komprehensif sehingga publik mengerti mengenai krisis yang terjadi, konsekuensi, dan antisipasi aksi berdasarkan data terkini. Ini dimaksudkan agar publik siaga terhadap langkah lanjutan.

Pada fase krisis, pemerintah perlu menyalurkan informasi mutakhir secara berkala agar masyarakat yakin krisis dapat dilalui. Pemerintah perlu melakukan ini dengan cara memaparkan penanggulangan keadaan darurat, mengkoreksi rumor dan misinformasi, serta menjelaskan rencana pemulihan paska krisis.

Di masa resolusi setelah krisis berakhir, pemerintah perlu tetap melakukan komunikasi untuk menciptakan solidaritas dan memahami krisis yang telah terjadi.

Terakhir, komunikasi tahap evaluasi akan menghasilkan konsensus dan pembelajaran untuk menghadapi kejadian serupa di masa mendatang.

Gunakan bahasa yang semua orang dapat memahami

Jika selama ini pemerintah merasa gagal dalam mengedukasi masyarakat terkait kebijakan Covid-19, mungkin, selama ini pemerintah selalu menggunakan bahasa eufemisme yang ‘mungkin’ hanya dipahami oleh masyarakat menengah ke atas — saya tidak bermaksud menyinggung siapapun, di bawah pancasila, kita semua sama.

Strategi komunikasi yang diterapkan pemerintah tersebut berisiko membawa kesalahpahaman di kalangan masyarakat karena banyak yang tidak mengerti. Saya menganjurkan penggunaan istilah-istilah kesehatan yang mudah dipahami masyarakat awam agar dapat terjalin hubungan baik antara petugas kesehatan dengan pasien atau masyarakat.

Buat kamu yang mengatakan “Ngomong doang gampang, gausah pake teori juga bisa kali” semoga tidak mengalami blunder-blunder pemerintah seperti yang saya tulis di atas.

Salam

--

--